Thursday, March 22, 2012

Kwik Kian Gie: Subsidi BBM itu Bohong!

Kwik Kian Gie: Subsidi BBM itu Bohong!

Sesungguhnya biaya produksi minyak dari menggali minyak, kilang, hingga distribusi ke Pom Bensin menurut KKG adalah US$ 10/brl. Ada baiknya kita naikan saja jadi US$ 15/brl untuk memberi keuntungan bagi pendukung Neoliberalisme yang mengatakan Subsidi BBM itu ada. Itu sudah termasuk keuntungan yang cukup besar bagi para operator dan distributor.
Taruhlah rate 1 US$ = Rp 10.000 dan 1 barrel = 159 liter.
Jika harga minyak Rp 4.500/liter, artinya Rp 715.500/brl atau US$ 71/brl.
Jadi dengan biaya produksi hanya US$ 15/brl dan harga jual US$ 71/brl, sebetulnya pemerintah untung US$ 56/brl. Bayangkan jika produksi BBM kita 1 tahun 350 juta barel. Pemerintah untung US$ 19,6 milyar atau Rp 196 trilyun/tahun.
Itu kalau pakai harga “Subsidi” Rp 4.500/liter. Kalau pakai harga Pertamax yang Rp 9000/liter, pemerintah untung Rp 392 trilyun/tahun.
Tapi bagaimana dengan harga minyak dunia yang misalnya US$ 120/brl? Bukankah kita rugi US$ 79/brl?
Benar kalau kita adalah negara bukan penghasil minyak seperti Singapura atau Jepang yang harus beli minyak dari negara lain.
Tapi Indonesia memproduksi sendiri minyaknya sebesar 907 ribu barel/hari. Bahkan mungkin lebih jika tidak dikadali perusahaan minyak asing yang mengelola 90% minyak kita. Sementara kebutuhan BBM “Subsidi” itu hanya 740 ribu bph. Jadi masih untunglah pemerintah. Mau harga minyak dunia naik sampai US$ 200/brl pun sebetulnya biaya produksi minyak di Indonesia tidak akan berubah. Paling banter cuma US$ 15/brl.
Cuma ya itu beda pemikiran ekonom kerakyatan atau Islam dibanding ekonom Neoliberal yang berpihak pada perusahaan-perusahaan minyak asing. Meski untung, mereka tetap bilang rugi.
Padahal minyak itu adalah milik bersama rakyat Indonesia. Bukan milik perusahaan minyak atau pemerintah Indonesia. Jadi tak pantas dijual dengan harga “Internasional”.
Simulasi Harga Minyak dalam bentuk XLS bisa didownload di sini:
Kita akan tahu bahwa meski harga minyak dunia US$ 200/brl, Indonesia tetap untung dgn harga Rp 4500/ltr atau US$ 71 brl mengingat biaya produksi hanya US$ 15/brl.
Lihat perbandingan beda pandangan antara pemahaman untung/rugi penjualan minyak antara pemikiran Ekonom Islam/Rakyat dengan Ekonom Neoliberal yang dipengaruhi Yahudi.
Di zaman Nabi ada Yahudi yang menjual air dengan harga tinggi kepada rakyat. Harap diketahui, hingga sekarang harga air di Arab Saudi lebih mahal daripada harga minyak karena air di sana sangat langka. Namun setelah dibeli ummat Islam sumur airnya, Nabi membagikannya gratis kepada rakyat. Ini karena rakyat harus bisa mendapatkan kebutuhan hidupnya dengan mudah.
Perbandingan di bawah dengan asumsi:
1 barel = 159 liter
1 US$ = Rp 10.000
Produksi minyak Indonesia = 907 ribu bph
Kebutuhan BBM “Subsidi” dgn harga Rp 4500/ltr (US$ 71/brl) = 740 ribu bph
Total biaya produksi minyak Indonesia = US$ 15/brl
HARGA MINYAK DUNIA (US$/BRL)
Persepsi Untung/Rugi
60
120
200
400
Ekonom Islam/Rakyat
56
56
56
56
Ekonom Neoliberal
11
-49
-129
-329
Saat harga “Minyak Dunia” tinggi, kaum Neolib memandang Indonesia rugi. Padahal dibanding biaya produksi yang tetap, sebetulnya untung.
Anggito Abimanyu, salah satu fundamentalis neo-liberal Indonesia yang selalu bersikeras menaikkan harga BBM dengan alasan “mengurangi beban subsidi BBM“, mengakui bahwa selama ini tidak pernah ada subsidi dalam BBM.
“Masih ada surplus penerimaan BBM dibanding biaya yang dikeluarkan,” katanya dalam acara talkshow di TVOne hari Senin (13/03/2012), terkait rencana kenaikan harga BBM akibat kenaikan harga BBM dunia. Anggito menjadi salah satu narasumber bersama Kwik Kian Gie dan Wamen ESDM.
Mungkin Anggito tidak akan pernah memberikan pengakuan seperti itu kalau saja tidak karena ada Kwik Kian Gie yang telah lama menyampaikan pendapatnya bahwa isu “subsidi” adalah pembohongan publik, dan pendapat itu diulangi lagi dalam acaratalkshow tersebut di atas.
Jika pun “benar” Pemerintah rugi, bisa jadi Pertamina dipaksa membeli minyak Indonesia yang 90% dikelola oleh perusahaan2 minyak AS seperti Chevron dan Exxon dengan harga New York. Jika begitu, solusinya adalah di Nasionalisasi. Cina dan Norwegia mengelola minyak mereka dengan BUMN mereka. Arab Saudi, Iran, dan Venezuela juga sudah menasionalisasi perusahaan minyak asing yang dulu memonopoli minyak mereka. Sekarang mereka makmur karena penerimaannya bertambah karena tidak dibohongi oleh perusahaan2 minyak asing.
Selama 90% kekayaan alam kita dikuasai asing, selama itu pula Indonesia melarat. Harga minyak naik, bukannya untung malah rugi karena ceritanya “Subsidi” bertambah berat. Harga minyak turun juga “Mengeluh” karena penerimaan berkurang. Tidak pernah bersyukur makanya kena siksa Allah terus.
“Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” [Ibrahim 7]
Satu wujud syukur kita dengan kekayaan alam kita adalah dengan mengelolanya sendiri sehingga bisa menikmati seluruh hasilnya. Bukan justru mengabaikannya dan menyerahkannya ke pihak asing sehingga akhirnya asinglah yang menikmati hasilnya sementara rakyat Indonesia jadi miskin dan melarat.

BBM DISUBSIDI ADALAH OMONG KOSONG

Percakapan antara Djadjang dan Mamad

Oleh Kwik Kian Gie

Pemerintah berencana tidak membolehkan kendaraan berpelat hitam membeli bensin premium, karena harga Rp. 4.500 per liter jauh di bawah harga pokok pengadaannya. Maka pemerintah rugi besar yang memberatkan APBN.
Apakah benar begitu ? Kita ikuti percakapan antara Djadjang dan Mamad. Djadjang (Dj) seorang anak jalanan yang logikanya kuat dan banyak baca. Mamad (M) seorang Doktor yang pandai menghafal.
Dj : Mad, apa benar sih pemerintah mengeluarkan uang tunai yang lebih besar dari harga jualnya untuk setiap liter bensin premium ?
M : Benar, Presiden SBY pernah mengatakan bahwa semakin tinggi harga minyak mentah di pasar internasional, semakin besar uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengadakan bensin. Indopos tanggal 3 Juli 2008 mengutip SBY yang berbunyi : “Jika harga minyak USD 150 per barrel, subsidi BBM dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp. 320 trilyun. Kalau USD 160, gila lagi. Kita akan keluarkan (subsidi) Rp. 254 trilyun hanya untuk BBM.”
Dj : Jadi apa benar bahwa untuk mengadakan 1 liter bensin premium pemerintah mengeluarkan uang lebih dari Rp. 4.500 ? Kamu kan doktor Mad, tolong jelaskan perhitungannya bagaimana ?
M : Gampang sekali, dengarkan baik-baik. Untuk mempermudah perhitungan buat kamu yang bukan orang sekolahan, kita anggap saja 1 USD = Rp. 10.000 dan harga minyak mentah USD 80 per barrel. Biaya untuk mengangkat minyak dari perut bumi (lifting) + biaya pengilangan (refining) + biaya transportasi rata-rata ke semua pompa bensin = USD 10 per barrel. 1 barrel = 159 liter. Jadi agar minyak mentah dari perut bumi bisa dijual sebagai bensin premium per liternya dikeluarkan uang sebesar (USD 10 : 159) x Rp. 10.000 = Rp. 628,93 – kita bulatkan menjadi Rp. 630 per liter. Harga minyak mentah USD 80 per barrel. Kalau dijadikan satu liter dalam rupiah, hitungannya adalah : (80 x 10.000) : 159 = Rp. 5.031,45. Kita bulatkan menjadi Rp. 5.000. Maka jumlah seluruhnya kan Rp. 5.000 ditambah Rp. 630 = Rp. 5.630 ? Dijual Rp. 4.500. Jadi rugi sebesar Rp. 1.130 per liter (Rp. 5.630 – Rp. 4.500). Kerugian ini yang harus ditutup oleh pemerintah dengan uang tunai, dan dinamakan subsidi.
Dj : Hitung-hitunganmu aku ngerti, karena pernah diajari ketika di SD dan diulang-ulang terus di SMP dan SMA. Tapi yang aku tak paham mengapa kau menghargai minyak mentah yang milik kita sendiri dengan harga minyak yang ditentukan oleh orang lain ?
M : Lalu, harus dihargai dengan harga berapa ?
Dj : Sekarang ini, minyak mentahnya kan sudah dihargai dengan harga jual dikurangi dengan harga pokok tunai ? Hitungannya Rp. 4.500 – Rp. 630 = Rp. 3.870 per liter ? Kenapa pemerintah dan kamu tidak terima ? Kenapa harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga yang Rp. 5.000 ?
M : Kan tadi sudah dijelaskan bahwa harga minyak mentah di pasar dunia USD 80 per barrel. Kalau dijadikan rupiah dengan kurs 1 USD = Rp. 10.000 jatuhnya kan Rp. 5.000 (setelah dibulatkan ke bawah).
Dj : Kenapa kok harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga di pasar dunia ?
M : Karena undang-undangnya mengatakan demikian. Baca UU no. 22 tahun 2001 pasal 28 ayat 2. Bunyinya : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Nah, persaingan usaha dalam bentuk permintaan dan penawaran yang dicatat dan dipadukan dengan rapi di mana lagi kalau tidak di New York Mercantile Exchange atau disingkat NYMEX ? Jadi harga yang ditentukan di sanalah yang harus dipakai untuk harga minyak mentah dalam menghitung harga pokok.
Dj : Paham Mad. Tapi itu akal-akalannya korporat asing yang ikut membuat Undang-Undang no. 22 tahun 2001 tersebut. Mengapa bangsa Idonesia yang mempunyai minyak di bawah perut buminya diharuskan membayar harga yang ditentukan oleh NYMEX ? Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi menyatakannya bertentangan dengan konstitusi kita. Putusannya bernomor 002/PUU-I/2003 yang berbunyi : “Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.”
M : Kan sudah disikapi dengan sebuah Peraturan Pemerintah (PP) ?
Dj : Memang, tapi PP-nya yang nomor 36 tahun 2004, pasal 27 ayat (1) masih berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, keuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, DISERAHKAN PADA MEKANISME PERSAINGAN USAHA YANG WAJAR, SEHAT DAN TRANSPARAN”. Maka sampai sekarang istilah “subsidi” masih dipakai terus, karena yang diacu adalah harga yang ditentukan oleh NYMEX.
M : Jadi kalau begitu kebijakan yang dinamakan “menghapus subsidi” itu bertentangan dengan UUD kita ?
Dj : Betul. Apalagi masih saja dikatakan bahwa subsidi sama dengan uang tunai yang dikeluarkan. Ini bukan hanya melanggar konstitusi, tetapi menyesatkan. Uang tunai yang dikeluarkan untuk minyak mentah tidak ada, karena milik bangsa Indonesia yang terdapat di bawah perut bumi wilayah Republik Indonesia.
Menurut saya jiwa UU no. 22/2001 memaksa bangsa Indonesia terbiasa membayar bensin dengan harga internasional. Kalau sudah begitu, perusahaan asing bisa buka pompa bensin dan dapat untung dari konsumen bensin Indonesia. Maka kita sudah mulai melihat Shell, Petronas, Chevron.
M : Kembali pada harga, kalau tidak ditentukan oleh NYMEX apakah mesti gratis, sehingga yang harus diganti oleh konsumen hanya biaya-biaya tunainya saja yang Rp. 630 per liternya ?
Dj : Tidak. Tidak pernah pemerintah memberlakukan itu dan penyusun pasal 33 UUD kita juga tidak pernah berpikir begitu. Sebelum terbitnya UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, pemerintah menentukan harga atas dasar kepatutan, daya beli masyarakat dan nilai strategisnya. Sikap dan kebijakan seperti ini yang dianggap sebagai perwujudan dari pasal 33 UUD 1945 yang antara lain berbunyi : ”Barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Dengan harga Rp. 2.700 untuk premium, harga minyak mentahnya kan tidak dihargai nol, tetapi Rp. 2.070 per liter (Rp. 2.700 – Rp. 630). Tapi pemerintah tidak terima. Harus disamakan dengan harga NYMEX yang ketika itu USD 60, atau sama dengan Rp. 600.000 per barrel-nya atau Rp. 3.774 (Rp. 600.000 : 159) per liternya. Maka ditambah dengan biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 menjadi Rp. 4.404 yang lantas dibulatkan menjadi Rp. 4.500.
Karena sekarang harga sudah naik lagi menjadi USD 80 per barrel pemerintah tidak terima lagi, karena maunya yang menentukan harga adalah NYMEX, bukan bangsa sendiri.
Dalam benaknya, pemerintah maunya dinaikkan sampai ekivalen dengan harga minyak mentah USD 80 per barrel, sehingga harga bensin premium menjadi sekitar Rp. 5.660, yaitu:
Harga minyak mentah : USD 80 x 10.000 = Rp. 800.000 per barrel.
Per liternya Rp. 800.000 : 159 = Rp. 5.031, ditambah dengan
biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 = Rp. 5.660

Karena tidak berani, konsumen dipaksa membeli Pertamax yang komponen harga minyak mentahnya sudah sama dengan NYMEX.
M : Kalau begitu pemerintah kan kelebihan uang tunai banyak sekali, dikurangi dengan yang harus dipakai untuk mengimpor, karena konsumsi sudah lebih besar dibandingkan dengan produksi.
Dj : Memang, tapi rasanya toh masih kelebihan uang tunai yang tidak jelas ke mana perginya. Kaulah Mad yang harus meneliti supaya diangkat menjadi Profesor.

Thursday, March 1, 2012

PANGERAN DIPONEGORO BERDARAH BIMA PANGERAN DIPONEGORO BERDARAH BIMA

Pada catatan kaki buku berjudul Asal Usul Perang Jawa karangan Dr. Peter Carey tertulis :


“Moyang perempuan Dipanegara, Ratu Ageng ( Tegalrejo ) ( C. 1735 - 1803 ) adalah putera Ki Ageng Derpayuda, Kyai termashur pada awal abad 18 yang berdiam di kawasan Sragen di dekat Surakarta. Melalui Ibunya Ni Agung Derpayuda ratu Ageng ( Tegalrejo ) dilahirkan dalam generasi Ketiga dari Sultan Bima di Sumbawa, kesultanan di Indonesia bagian Timur yang tersohor ketaatannya pada agama Islam. Karena itu dalam diri Dipanegara mengalir darah Madura ( dari neneknya ratu Kedhaton ) yang meninggal tahun 120 dan darah Bima”.

Pada dokumen lain yang berasal dari Raja-Raja Mataram ada disebutkan : “Kyai Suleman Bekel Jamus (Surakarta ) adalah putera raja Bima dan lahir 1601”. Dokumen ini memberikan petunjuk bahwa dalam abad 17 di Kerajaan Mataram ada putera Raja Bima yang sedang mengabdi di sana. Dihubungkan dengan tulisan Dr. Peter Carey, maka kedua dokumen itu saling mengukuhkan dan membenarkan.

Dikaitkan dengan silsilah Raja-Raja Bima, kelahiran Kyai Suleman tahun 1601 sama dengan tahun kelahiran Sultan Abdul Kahir, Sultan pertama Kerajaan Bima. Antara Kyai Sulaiman dan Sultan Abdul Kahir sebaya. Dari data tersebut tidak mungkin saudaranya Sultan Abdul Kahir apalagi keturunan generasi berikutnya sebagaiman dikemukakan sementara orang, yang kawin dengan Puteri Madura. Melainkan setidak-tidaknya salah seorang keluarga Raja Bima generasi ayah Sultan Abdul Kahir yakni pamannya yang kawin dengan Ratu Kedhaton Puteri Madura. Siapakah paman Sultan Abdul Kahir yang kawin dengan Ratu Kedhaton dari Madura ? Berorentasi kepada waktu, maka periode masa pemerintahan Raja Bima Ma Waa Ndapa mempunyai kaitan dengan data yang dikemukakan. Ma Waa Ndapa mempunyai 5 orang anak, 4 orang putera dan seorang puteri yaitu :
  1. Sarise, menjadi Raja Bima.
  2. Mantau Asi Sawo, menjadi Raja Bima, melahirkan Sultan Abdul Kahir.
  3. Manuru Sarei.
  4. Salisi, Raja Ma Ntau Asi Peka, Menjabat wali Raja bima.
  5. Seorang puteri, Ibu Bumi Jara.
Keempat saudara itu hanya Manuru Sarei yang tidak menjabat jabatan resmi Kerajaan. Pendapat itu diperkuat dengan namanya Manuru sarei yang artinya yang tinggal dihalaman. Pada masa pemerintahan Raja Ma Ntau Asi Sawo Kerajaan Bima mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi dan mempunyai hubungan dengan Bandar Gowa dan Gresik – Surabaya. Namun sesudah Raja Ma Ntau Asi Sawo wafat, saudaranya Salisi Ruma Ma Ntau Asi Peka memangku sebagai wali kerajaan disebabkan putera mahkota yakni Ruma Ma Mbora di Mpori Wera belum mencapai usia dewasa. Dalam kesenjangan waktu tersebut Ia ingin merebut tahta kerajaan sehingga timbul kemelut politik yang berkepanjangan serta meminta korban besar baik jiwa maupun materi. Rupanya dalam kemelut itu saudaranya Ma Nuru Sarei meninggalkan Bima menuju pula Jawa mengikuti jalur perdagangan yakni di Gresik. Gresik disamping pusat perdagangan Islam juga menjadi pusat pengembangan agama Islam. Manuru Sarei memeluk agama Islam. Karena Dia adalah salah seorang keturunan Raja Bima maka perkawinannya dengan Ratu Kedhaton tidak ada masalah.

Selanjutnya Dr. Peter Carey menulis :

"Ibu Dipanagara Raden Ayu Mangkara Wati ( c. 1770 – 1852 ) isteri tidak resmi ( Garwa Ampean ) Sultan Hamengku Bowono III ( m. 1812 – 1814 ) adalah anak keturunan Kyai Ageng Prampelan ( orang dipuja-puja dizaman Senopati”.

Dari data serta keterangan tersebut dapat disimpulkan :
  1. Kyai Ageng Derpa Yuda adalan anak Kyai Sulaiman Putera Raja Bima
  2. Kyai Ageng Derpa Yuda mempunyai puteri bernama Ratu Ageng yang tinggal di Tegalrejo
  3. Ratu Ageng Tegalrejo mempunyai puter bernama Raden Ayu Mangkara Wati.
  4. Raden Ayu Mangkara Wati kawin dengan Sulta Hamengku Bowono III.
  5. Dari perkawinannya itu melahirkan pangeran Diponegoro yang dikenal pula dengan nama pangeran Ngabdulkamid.
Dalam diri pangeran Diponegoro pahlawan Nasional pahlawan nasional mengalir darah campuran Bima – Madura sebagai cikal bakal moyangnya lahir sebagai generasi kelima. Selama dalam pengasingan Belanda Pangeran Diponegoro menggunakan namaPangeran Ngabdulkamid.(*86)

(sumber: http://fitua.blogspot.com/2011/11/pangeran-diponegoro-berdarah-bima.html)